“CABUT PERDA TIBUM DKI JAKARTA!” (SURAT TERBUKA PELANTIKAN ANGGOTA DPRD DKI JAKARTA PERIODE 2009 – 2014 PADA 25 AGUSTUS 2009)

Anggota DPRD DKI Jakarta yang terhormat. Selamat atas terpilihnya kalian menjadi anggota dewan yang baru periode 2009 – 2014. Apa masih ingat, kalian pernah mendatangi rakyat miskin beramai-ramai dan menyatakan kepedulian dengan gamblang saat kampanye yang lalu? Dengan suara lantang kalian teriakkan membela rakyat miskin yang ada di Jakarta. Dengan langkah kaki yang mantap kalian datangi rumah-rumah kumuh rakyat miskin kota. Dengan royal kalian berikan macam-macam hadiah kepada rakyat miskin. Kalian teriakkan, “hapuskan kemiskinan!” di berbagai forum dan media untuk mendapatkan simpati masyarakat luas. Semua itu terjadi saat kampanye yang lalu.

Kampanye sudah lewat. Opini sudah membulat dalam citra sosok anggota dewan. Janji-janji politik sudah bermuara dalam satu wadah ruang publik. Ibarat air yang akan terus mengering jika didiamkan. Janji-janji politik menguap ke udara hilang begitu saja.

Sebelum janji-janji itu menguap seluruhnya karena abai, kami rakyat miskin yang berada di Jakarta mengingatkan bahwa rakyat miskin kota di Jakarta masih terlantar. Kondisi ini terjadi berulang kali lintas generasi lebih dari tujuh turunan. Kami tidak akan pernah bosan menuntut pemenuhan janji kampanye kalian. Siap-siap, kami akan mendatangi kalian dengan tidak hanya satu atau dua rakyat miskin, tetapi ribuan rakyat miskin kota Jakarta. Kami minta pertanggung-jawaban kalian.

Jika ada yang bertanya, apa ada hubungan terlantarnya rakyat miskin dengan lembaga legislatif? Kami menjawab, “ada”.

Lembaga legislatif, seperti DPRD DKI Jakarta, tempat dimana kalian akan berkarir dalam politik (atau akan berulang, tempat dimana kalian akan semakin memperkaya diri), mempunyai peran besar terhadap proses pemiskinan lebih dari 10 juta rakyat miskin yang ada di Jakarta. Peran itu termuat dalam fungsi legislasi. Kalian diamanatkan oleh undang-undang untuk membuat produk legislasi daerah. Sejalan dengan itu, undang-undang juga mengamanatkan kalian untuk mengedepankan kesejahteraan rakyat dalam setiap peraturan daerah yang kalian buat dan sahkan. Kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi.

Puluhan tahun yang kami rasakan sebagai rakyat kelas sandal jepit semakin terjepit. Utang sana sini semakin melilit. Tetapi kami tidak akan berkelit. Kami hadapi hidup yang semakin pahit. Kalian tidak pernah membayangkan bagaimana kami merasakan sakit. Dikhianati oleh wakil rakyat yang pelit. Mengetahui wakil rakyat kami korupsi berjamaah, aduh amit-amit.

Selama puluhan tahun itu pula kami digusur. Dipinggirkan dan dianiaya. Dibiarkan sakit dan kelaparan. Dibiarkan bodoh. Betapa hebat yang kami derita. Seekor anjing pun enggan mengalaminya.

Jika kalian tetap bersikukuh tidak bertanggung jawab atas penderitaan kami, “salah!” Justru karena peran penuh kuasa kalian atas terbentuknya peraturan daerah yang membuat kami menderita hebat seperti ini.

Beberapa dari kalian memang baru akan menjabat menjadi anggota dewan. Ada di antara kalian belum terlalu lama menjadi warga Jakarta. Sehingga kurang mengetahui banyak produk legislasi yang meminggirkan rakyat miskin dan membiarkan rakyat miskin mati perlahan.

Kami ingatkan, DPRD DKI Jakarta pernah membuat Peraturan Daerah (Perda) No.11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum. Perda ini merupakan salah satu kebijakan yang membatasi aktivitas ekonomi dan perumahan layak rakyat miskin. Dalam implementasinya, terjadi banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Ratusan rakyat miskin menjadi korban bulan-bulanan Satpol PP pimpinan Sutiyoso. Kami di hajar, ditangkap dan dianiaya. Teman-teman kami dibunuh. Beberapa dari kami dilecehkan. Ada juga yang diperkosa. Tidak ada satu pun pelaku kekerasan yang diadili.

Sedikit gambaran, dari 85 responden yang berhasil didata, 58,8% usia 19 – 55 tahun mengalami kekerasan. Usia remaja (13 – 18 tahun) sebanyak 22,4%. Orang tua (di atas usia 60 tahun) sebanyak 9,4%. Anak-anak juga mengalaminya, sebanyak 8,2%. Dilihat dari jenis pekerjaan, pengamen yang paling sering menjadi korban kekerasan. Angkanya mencapai 30,6%. Urutan kedua, PKL (28,2%) dan pemulung (22,4%). Sisanya adalah para pengemis, PSK, joki 3 in 1, buruh dan pengangguran (Jakarta Centre for Street Children dan Institute of Ecosoc Right, 2007).

Pemerintah daerah selalu represif dalam melakukan penertiban untuk menegakkan Perda No.11 tahun 1988. Kejadian tidak manusiawi ini terjadi lebih dari dua puluh tahun. Tetapi, semua tahu, perda ini bermasalah karena tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan di atasnya, termasuk konstitusi negara kita. Selain itu, berbagai kalangan menentang keras pemberlakuan perda ini dalam dua puluh tahun itu.

Hasilnya, ada angin segar perda tersebut akan diganti. Tepatnya pada bulan Agustus 2007. Namun, angin segar yang ditiupkan oleh negara sering tidak selaras dengan rakyatnya. Angin segar itu berubah menjadi momok menakutkan bagi rakyat miskin. Mucullah kabar perda baru pengganti Perda DKI Jakarta No.11 tahun 1988, yakni Perda No.8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (selanjutnya disebut Perda Tibum).

Perda Tibum lebih bermasalah dari Perda No.11 tahun 1988. Selain secara prosedural penyusunannya tidak melibatkan masyarakat luas (melanggar UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), juga secara materil bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Perda ini anti HAM. Perda ini hanya berisi larangan-larangan kepada rakyat miskin. Larangan itu menegaskan peminggiran rakyat miskin dari kota. Lebih parah lagi, rakyat miskin dikriminalisasi. Rakyat miskin dianggap sebagai penjahat dari ketertiban kota. Rakyat miskin dianggap sebagai biang dari ketidaktertiban dan ketidaknyamanan kota. Padahal, secara sistematis dan sporadis pembangunan kota digempur oleh investor-investor predator. Dengan kekuatan modal dahsyat, ribuan pemukiman rakyat miskin digusur paksa, beberapa di antaranya dibakar. Tidak terlewat ruang terbuka hijau. Dibangun berhektar-hektar pemukiman mewah, pusat niaga, rekreasi, dan industri, hotel, dan perusahaan tanpa mengindahkan tata kota dan kualitas lingkungan yang sehat bagi sekitarnya. Tapi soal banjir, limbah, dan kemacetan selalu menyalahkan rakyat miskin. Rakyat miskin yang lemah posisi tawarnya memang mudah dijadikan kambing hitam dari kesemerawutan tata kelola kota.

Selain itu, di Perda Tibum menutup relasi solidaritas dan transaksi ekonomi antara kelas miskin dengan di atasnya. Masyarakat kalangan menengah dan atas dilarang memberikan sedekah dan membeli barang dagangan rakyat miskin. Bagi yang melanggar akan didenda uang dan kurungan penjara. Bukankah ini kelewatan. Peraturan ini jelas menunjukkan anti kelas orang miskin.

Hampir dua tahun kami menuntut agar Perda Tibum dicabut. Kami sudah mendatangi Pemrov DKI Jakarta. Kami juga sering mendatangi para anggota DPRD DKI Jakarta periode 2004 – 2009. Teman-teman kalian waktu itu begitu bebal. Perda yang jelas-jelas bermasalah dan anti HAM ini dianggap tidak bermasalah. Banyak kalangan menentang pemberlakuan perda ini. Bukan hanya rakyat miskin yang menentang, berbagai kelompok masyarakat sipil, akademisi, agamawan, kelompok profesional, seperti arsitek tata kota, Komnas HAM, dll; juga menyikapi hal yang sama.

Saking bebalnya, teman-teman kalian waktu itu mengatakan kemiskinan yang dialami oleh jutaan rakyat di Jakarta ini buah dari kemalasan bekerja. Itu tidak benar! Apa pernah kalian merasakan memungut barang bekas dengan mengelilingi Jakarta lebih dari 10 jam sehari? Apa pernah kalian berjualan di pinggir jalan di bawah terik matahari dikelilingi debu karbondioksida yang keluar dari kendaraan bermotor? Apa pernah kalian merasakan bernyanyi dengan rasa haus di dalam bis yang pengab dan panas dari pagi hingga malam? Apa pernah kalian dilacurkan karena pemenuhan ekonomi begitu terbatas? Apa semua pekerjaan mereka bisa kita anggap malas? Kita sama-sama tahu jam bekerja mereka lebih lama dibandingkan kalian. Medan pekerjaan mereka lebih keras dibandingkan kalian yang bisa seenaknya masuk kerja. Yang selalu berada di ruang sejuk dan bisa kapan saja berkantuk-kantuk saat rapat sekali pun.

Kami tidak tahu apa kalian ikut merasakan penderitaan kami dari tulisan ini. Yang jelas dan kami tahu, tidak ada satu pun dari kalian berasal dari kelas rakyat miskin. Sebab, pengalaman yang lalu, para anggota dewan bukannya bersimpati dan melakukan tindakan nyata bagi penyelesaian kemiskinan, justru asik memperkaya diri. Tiap anggota mendapat tunjangan laptop, mobil, rumah, dll. Selain memperbesar anggaran untuk perut rakusnya. Kalau tidak percaya, tanyalah kepada anggota dewan periode yang lalu. Mungkin beberapa di antara mereka akan menjabat untuk periode ke depan. Lihat, sudah seberapa banyak kekayaan yang mereka kumpulkan selama menjadi anggota dewan. Berdiskusilah dengan mereka. Kemudian nilai, apa benar mereka memang bebal? Sementara, beberapa meter dari gedung dewan tampak gerobak berisi anak manusia yang tertidur beralaskan kardus-kardus dan ditemani gelas-gelas air mineral bekas.

Sekadar untuk semakin menyakinkan kalian, sampai saat ini dampak dari Perda Tibum masih dapat dilihat. Tengok lokasi penggusuran di daerah Bojong Kapling Cengkareng Jakarta Barat. Silakan temui seorang nenek bernama Muthia. Dia masih merasakan bagaimana kehilangan rumah satu-satunya tempat untuk berlindung di Jakarta. Rumahnya digusur paksa sebulan yang lalu. Dia masih menumpang tidur di rumah tetangga saat malam. Saat siang, tidur seadanya di pinggir jalan beralas terpal atau kardus. Tidak ada satu pun lembaga negara yang memberi bantuan makanan dan barang-barang kebutuhan mereka. Anak-anaknya pun terancam tidak dapat melanjutkan sekolah dasar. Banyak warga mengalami hidup seperti ini disana.

Kalau kalian ke sana (apa mungkin ya?), ajak Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo beserta wakilnya, Priyanto. Mereka ikut bertanggung jawab atas proses pemiskinan warganya. Mereka harus ikut melihat langsung kemiskinan karena katanya mereka ahlinya di Jakarta ini. Sesuai jargon kampanye mereka dulu, “serahkan saja pada ahlinya”. Memang. Memang ahlinya menggusur.

Pemerintahan Fauzi Bowo dan Priyanto telah memecahkan rekor penggusuran selama berjalannya pemerintahan di Jakarta. Pemerintah daerah telah melakukan penggusuran paksa besar-besaran berdasarkan pada perda yang kalian buat dan sahkan itu. Menurut data dari Institut Ecosoc Rights (2009), rata-rata jumlah korban penggusuran setiap bulannya mencapai 3.200 orang. Sebagian besar terjerat Perda Tibum.

Fauzi Bowo dan Priyanto sudah sepantasnya mendapatkan predikat pujian atas rekor penggusurannya itu. Kalau didaftarkan ke Museum Rekor Dunia pasti mereka juara. Mari kita sematkan bersama-sama satu predikat pujian yang paling tepat. Yaitu, “Pemerintahan Fauzi Bowo dan Priyanto Fasis! Anti Rakyat Miskin”. Ayo kita ucapkan selamat kepada mereka: “Selamat ya…”

Pemerintahan fasis sejatinya adalah pemerintahan yang jahat. Pemerintah semacam ini selalu menindas satu “ras” tertentu yang tidak disukainya. Pada konteks ini jatuh kepada rakyat miskin kota Jakarta. Sementara itu, ada basis kelompok yang diuntungkan dari pemerintahan fasis, yakni basis yang bertolak belakang dari “ras” yang ditentangnya. Jika “ras” yang akan dihancurkan adalah rakyat miskin, maka yang bertentangan dengan rakyat miskin adalah orang-orang kaya, borjuasi atau pemodal, dan elit birokrat. Kelas borjuasi ini yang menguasai kota dan pemerintahan. Selama yang bercokol di pemerintahan adalah perwakilan dari kelas borjuasi, maka selama itu pula rakyat miskin multi sektor dan cluster akan ditindas.

Ideologi di atas begitu kuat menjangkiti tiap otak orang-orang pemerintahan, termasuk anggota dewan lho. Misalnya soal penggusuran. Penggusuran terjadi karena anggota dewan dan pemerintah provinsi masih menganggap bahwa rakyat miskin di Jakarta bukan warga Jakarta. Mereka semua pendatang miskin. Tidak punya modal. Sehingga mereka tidak berhak atas kota. Oleh karena itu layak digusur. Mereka telah membuat area Jakarta semakin sempit, begitu kata mereka.

Apa logis pandangan itu diucapkan oleh para penjahat, eh salah, pejabat? Berapa banyak para pejabat (elit birokrat di pemerintahan dan anggota dewan) yang asli orang Jakarta? Sedikit sekali bukan. Tapi mereka tidak digusur. Sementara rakyat miskin selalu digusur. Kaum borjuasi mudah sekali mendapatkan pengakuan identitas warga kota sementara rakyat miskin selalu terhalangi aksesbilitasnya. Implikasinya pada terhalanginya akses sumber daya dan fasilitas (pendidikan, kesehatan, air, listrik, subsidi-subsidi, dll). Sehingga kualitas hidupnya begitu rendah.

Sebelum kami lanjutkan, kenapa ya, kami masih belum yakin kalian bisa tersentuh dan mengambil tindakan cepat dari tulisan ini. Kami kok merasa kalian sama bebalnya dengan anggota dewan periode sebelumnya. Tidak ada satu pun dari kalian saat kampanye akan mencabut Perda Tibum jika menjabat nanti. Apa kalian bagian dari rejim bebal yang anti rakyat miskin? Mudah-mudahan tidak.

Kalian yang tidak bebal ini seharusnya menegakkan konstitusi (UUD 1945) dan UU No. 39 tentang Hak Asasi Manusia, Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, dan Konvenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya saat menjabat nanti. Di semua undang-undang itu hak rakyat miskin atas kota dijamin. Sehingga, langkah konkret yang harus dilakukan untuk menjamin hak dasar rakyat miskin adalah SEGERA MENCABUT PERDA TIBUM.

Para anggota DPRD DKI Jakarta yang baru HARUS MENCABUT PERDA TIBUM! Seruan sekaligus tuntutan ini keluar dari rasa marah, kesal, benci, kecewa, sakit, pikiran rasional dan harapan rakyat miskin yang berada di wilayah Jakarta. Dengan dicabutnya Perda Tibum semua rasa dan pikiran yang saat ini tertuju pada anggota dewan dapat terobati. Dan kota menjadi milik semua. Esensi kota adalah bangunan peradaban yang menghargai setiap entitas untuk saling hidup berdampingan (koeksistensi) tanpa diskriminasi atas dasar kelas ekonominya.

Sekali lagi kepada Anggota DPRD DKI Jakarta periode 2009 -2014, CABUT PERDA TIBUM SEGERA!


Jakarta, 24 Agustus 2009;

Ditengah nyanyian perut-perut lapar rakyat miskin Jakarta. Di samping sini ada Nana, Tohir, dan Ruhmini. Mereka telah membaca surat terbuka ini untuk disampaikan kepada anggota dewan yang baru, sambil istirahat setelah seharian mengumpul barang-barang bekas.

Aliansi Rakyat Miskin (ARM)

“Hidup Persatuan Rakyat Miskin! Bersatu untuk Berdaulat!” http://www.rakyatmiskin.wordpress.com


NB: Kata orang tua kepada anaknya, “jangan jadi orang yang bebal”. Karakter khas dari orang-orang bebal ditunjukkan dengan keras kepala atas ketidakmauannya menilai yang baik dan memihak kepada yang harusnya dibela, yakni mereka yang lemah dan tidak berdaya. Selain itu, membiarkan kebebalannya membatu. Siapa yang bebal di antara kalian? CABUT PERDA TIBUM SEGERA!


* Surat Terbuka ini dikirim kepada partai-partai politik yang memenangi kursi DPRD DKI Jakarta 2009 – 2014, sekretariat DPRD DKI Jakarta, dan dipublikasikan kepada masyarakat luas.

Tinggalkan komentar

Belum ada komentar.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar